-->

Cerita Dzu Alnun Almishri

Cerita Dzu Alnun Almishri


Wahai saudaraku, sampai kapankah engkau menunda amal, larut dalam angan, terlena oleh kelapangan, dan lalai akan serangan ajal?

Cerita Dzu Alnun Almishri

Apa yang kalian lahirkan akan kembali ke tanah

Apa yang kalian bangun akan runtuh

Apa yang kalian kumpulkan akan musnah

Apa yang kalian kerjakan tercatat dan akan ditanyakan pada Hari Perhitungan.

Seandainya, bila mati, kita dicampakkan kematian adalah rehat bagi yang bernyawa

Namun, jika mati, kita akan dibangkitkan kemudian ditanyai tentang segalanya.

Diriwayatkan bahwa ‘Umar ibn al Khaththab r.a. berkata :

Janganlah kalian terlena oleh firman Allah : “Barang siapa melakukan amal baik, ia mendapat sepuluh kali lipatnya dan barang siapa melakukan amal buruk, ia mendapat semisalnya.”

Meskipun hanya berbalas satu, amal buruk diiringi oleh sepuluh hal tercela:

1. membuat Allah murka padahal Dialah penguasa diri pelaku;

2. membuat Iblis senang;

3. menjauhi surga;

4. mendekati neraka;

5. menyakiti sesuatu yang paling dicinta, yaitu diri sendiri;

6. mengotori diri yang sebelumnya bersih;

7. mengecewakan para malaikat pendamping;

8. membuat Nabi saw, sedih dalam kuburnya;

9. mempersaksikan diri yang berdosa kepada jagat raya; dan

10. berkhianat kepada seluruh manusia dan durhaka kepada Tuhan alam semesta.

Dzu al Nun al Mishri bercerita:

Aku suatu waktu pergi ke Hijaz tanpa teman. Dalam perjalanan, aku terdampar di gurun pasir. Bekal telah habis dan aku hampir mati. Saat itulah tampak sebuah pohon dengan dahan rendah, ranting merunduk, dan daun lebat di tengah sahara.

Aku berbisik dalam hati, “Aku akan menuju pohon itu untuk bernaung sambil menunggu takdir-Nya.”

Ketika sampai di dekat pohon dan hendak berteduh dalam naungannya, salah satu ranting menusuk kantong minumku hingga seluruh air yang tersisa di dalamnya tumpah.

Aku pun merasa kematian semakin dekat.

Aku lalu merebahkan diri di bawah pohon, menanti datangnya Malaikat Maut.

Tiba-tiba terdengar suara lirih dari hati yang sedih:

“Wahai Tuhan, jika ini memang Kau ridai, tambahkanlah hingga Engkau rida kepadaku, wahai Sang Maha Penyayang.”

Aku berdiri dan mencari sumber suara.

Tiba-tiba aku melihat seseorang berwajah tampan dan berbadan tefap terbaring di atas pasir, sementara sejumlah burung nasar mengerumuni dan mematuki dagingnya.

Aku mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku dan berkata:

“Wahai dzu al Nun, ketika bekal telah habis dan air telah tumpah, engkau merasa akan mati dan binasa.”

Aku kemudian duduk dekat kepalanya dan menangis karena iba dan kasihan.

Sekonyong-konyong senampan makanan tergeletak di depanku.

Lelaki itu lalu menendang tanah dengan tumitnya dan memancarlah air yang lebih putih dari pada susu dan lebih manis dari pada madu.

Ia berkata, “Wahai Dzu al Nun, makan dan minumlah ! Engkau harus sampai ke Baitullah.

Tetapi aku punya permintaan kepadamu, wahai Dzu al Nun.

Jika memenuhinya, engkau akan mendapat pahala dan ganjaran.”

Aku bertanya, “Apa itu?”

Ia menerangkan, “Bila aku mati, mandikanlah aku dan kuburlah agar terhindar dari binatang buas dan burung, lalu silahkan kau teruskan perjalananmu.

Setelah menunaikan ibadah haji, engkau akan sampai ke kota Baghdad dan masuk dari pintu Zafaran.

Di sana engkau akan menjumpai anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengenakan beragam pakaian.

Di sana engkau juga akan menemukan seorang anak belia. Yang dilakukannya hanyalah berzikir kepada Allah.

Ada kain melingkar di pinggang dan pundaknya.

Di wajahnya tertoreh dua garis hitam akibat sering menangis. Itu adalah anak dan buah hatiku. Sampaikanlah salamku kepadanya.”

Dzu al Nun melanjutkan :

Seusai berbicara, ia mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” lalu menghembuskan napasnya yang terakhir.

Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya. “Inna lillahi wa inna ilayhi raajiun,” ucapku.

Kumandikan jenazahnya dengan air tadi, kemudian kukafani dengan pakaian dari tasku dan kukubur.

Setelah itu aku meneruskan perjalanan ke Baitullah. Aku melaksanakan ibadah haji kemudian berziarah ke makam Rasulullah saw.

Dari Madinah aku berjalan menuju Baghdad dan sampai di sana pada hari raya.

Aku melihat sejumlah anak dengan beragam pakaian sedang bermain. Aku menatap mereka lalu tampaklah seorang anak yang digambarkan oleh lelaki yang kutemui di gurun.

Si anak tidak terpikat pada hadiah dan hanya duduk seraya berzikir kepada Zat Yang Maha Mengetahui semua hal tersembunyi.

Ronanya menampakka kesedihan. Di wajahnya terdapat dua garis hitam karena sering menangis. Ia bersenandung:

Seluruh manusia bergembira dengan hari raya sementara aku bergembira dengan Allah Yang Maha Esa.

Seluruh manusia menghias pakaian untuk hari raya sementara aku berhias dengan pakaian kehinaan dan duka.

Seluruh manusia membersihkan badan untuk hari raya sementara aku membersihkan hati dengan air mata.

Aku mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku dan berkata, “Selamat datang, utusan ayahku.”

Aku bertanya, “Siapakah yang memberitahumu bahwa aku utusan ayahmu?”

Ia menjawab, “Yang memberitahuku bahwa engkau telah mengubur ayahku di sahara. Wahai Dzu al Nun, apakah kau kira engkau telah mengubur ayahku?

Demi Allah, ayahku telah diangkat ke sidratulmuntaha. Ayo kita ke nenek!”

Anak itu memegang tanganku dan membawaku ke rumahnya. Sesampainya di pintu rumah, ia mengetuk pintu dengan pelan. Tak lama, kemudian seorang nenek keluar menemui kami.

Sang nenek menatapku seraya berkata, “Selamat datang wahai orang yang telah melihat wajah buah hatiku.”

Aku bertanya, “Siapakah yang memberitahumu bahwa aku telah bertemu dengannya?”

Ia menjawab, “Yang memberitahuku bahwa engkau telah mengafaninya dan kafan tersebut akan dikembalikan kepadamu.

Wahai Dzu al Nun, demi kebesaran dan keagungan Tuhan, kain yang dipakai anakku menjadi kebanggaan para malaikat di alam tertinggi.”

Sang nenek bertanya, “Wahai Dzu al Nun terangkanlah kepadaku bagaimana engkau meninggalkan anak dan buah hatiku?”

Kutinggalkan ia di sahara di antara pasir dan bebatuan. Ia telah memperoleh harapannya dari Tuhan Yang Mahaperkasa dan Maha Pengampun,” jawabku.

Setelah mendengar itu, sang nenek memeluk si anak dan tiba-tiba keduanya menghilang.

Aku tidak tahu apakah keduanya diangkat ke langit atau ditelan bumi. Aku mencari-cari keduanya di setiap sudut rumah, namun tidak kutemui.

Sekonyong-konyong terdengarlah suara:

“Wahai Dzu al Nun, jangan melelahkan diri ! Malaikat saja tidak berhasil menemukan mereka.”

Lalu, ke mana mereka?” tanyaku.

Suara itu menjawab, “Para syuhada mati karena pedang kaum musyrikin, sementara para kekasih mati karena rindu kepada Tuhan Rabulalamin. Mereka dibawa dengan kendaraan cahaya menuju surga di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.”

Aku kemudian mencari kantung kulitku yang hilang. Ketika kutemukan, ternyata di dalamnya terdapat kain pembungkus jenazah orang itu dalam keadaan terlipat seperti semula.

Baca juga : 'Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim.

Semoga Allah meridai mereka dan memberi kita manfaat lewat keberkahan mereka.

Disqus Comments