Artikel dengan judul ‘Muslim Wajib Berpolitik” ini sebenarnya
sudah lama ada. Ditulis oleh Dr. Ahmad Hatta, ketua Ikatan Dai Indonesia
(IKADI), untuk Sabili tanggal 9 Oktober 2003. Dan pastinya sudah banyak yang
membacanya. Tapi pada kesempatan ini admin posting di blog ini, dengan harapan
dapat menghilangkan kesalahan persepsi tentang muslim (ulama) dan politik, dan
juga admin berkeyakinan ilmu itu tidak pernah usang walau setua berapapun
umurnya. Ilmu itu bagaikan sinar terang, yang tidak akan pernah padam menerangi
hati dan pikiran manusia, seusang apapun dia.
Untuk diketahui artikel ini akan saya kutip apa adanya,
sebagaimana yang terdapat dalam Majalah Sabili No. 06 TH.XI 9 Oktober 2003,
tanpa saya tambahi atau kurangi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam
memberikan pencerahan kepada kita semua.
Muslim Wajib Berpolitik
“Hendaklah kamu menjadi umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Inilah ayat yang menegaskan seorang muslim wajib berpolitik
atau memaksimalkan peran politiknya. Secara implisif ayat ini membahas tentang
kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara khusus, dan dakwah
secara umum. Di sini setiap orang beriman atau komunitas muslim diperintah Allah
untuk menyeru kepada yang ma’ruf (kebaikan dan kebenaran) dan mencegah dari
kemunkaran (dosa dan kerusakan). Namun efektivitas pelaksanaan kewajiban ini
akan sangat terkait dengan kekuasaan. Semakin besar kekuasaan dan otoritas yang
dimiliki oleh seorang Muslim, semakin besar kemampuannya untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar dalam ruang kekuasaannya.
Kaitan antara keduanya dapat dilihat dengan jelas pada sabda
Rasulullah saw dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa siapa di
antara kamu melihat sebuah kemunkaran maka hendaknya ia merubahnya dengan
tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya ia merubahnya dengan mulutnya.
Apabila tidak mampu juga, lakukan dengan hati, dan itu adalah tingkat iman yang
paling rendah.
Rasulullah saw dalam hadits ini tidak bermaksud memberikan
pilihan kepada kita dalam menegakkan amar ma’ruf nahi dan munkar. Tetapi
Rasulullah saw ingin memastikan bahwa kemampuan kita dalam menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kekuasaan yang kita miliki. Ketika kekuasaan
yang kita miliki besar, maka kita wajib merubah kemunkaran itu dengan sarana
yang paling efektif, tangan misalnya. Namun apabila kekuasaan yang kita miliki
kecil, maka kita boleh menggunakan sarana sesuai otoritas kita, dengan perkataan
saja misalnya. Dan apabila kita sama sekali tidak memiliki kekuasaan, maka kita
harus tetap menegakkan amar ma’ruf nahi munkar minimal untuk diri kita sendiri
yaitu hati. Namun Rasulullah saw menegaskan bahwa ini adalah merupakan sikap
orang yang paling rendah imannya.
Penegasan terakhir Rasulullah saw ini sesungguhnya menjelaskan
kepada kita bahwa tinggi rendahnya iman, berkait erat dengan komitmen kita
terhadap penegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Dan komitmen ini berbanding sejajar
dengan kekuasaan yang kita miliki. Sementara kekuasaan itu tidak ada jalan lain
untuk mendapatkannya dan mempengaruhi kecuali dengan politik dan memanfaatkan
peran politik. Karena itu sesuai dengan kaidah ilmu ushul fiqh, bahwa segala
sesuatu yang menyebabkan satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka
hukum sesuatu itu wajib juga.
Maka wajar apabila dari ayat 104 dari surat Ali Imran di atas
Dr. Ahmad Syauqi Al Fanjari menyimpulkan bahwa setiap Muslim wajib ‘ain (wajib
individu) hukumnya untuk menjalankan peran politik, sebab apabila tidak
berpolitik maka kaum muslimin tidak akan berkuasa. Dan tanpa kekuasaan tugas
amar ma’ruf dan nahi munkar tidak akan berjalan efektif. Lalu apabila tugas ini
tidak berjalan maka umat Islam secara kolektif dan individu akan berdosa.
Lebih jauh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumud
Din menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna
kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang,
penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan rubuh dan apa yang tidak
dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisipilnan tidak akan terwujud kecuali
dengan penguasa.”
Karena itu berpolitik dan memaksimalkan peran politik adalah
merupakan kegiatan suci dalam beribadah kepada Allah, ini tentu apabila tujuan
berpolitik sesuai dengan apa yang kita sebutkan di atas. Namun persfektif yang
berkembang pada sebagian umat Islam Indonesia saat ini adalah sebaliknya.
Masih banyak umat Islam yang tabu dengan politik. Mereka
menyakini bahwa politik itu kotor, penuh kebohongan, kelicikan dan tidak
bermoral serta berbagai sebutan lainnya yang bernada negatif.
Paradigma ini ada dan berkembang bukan tanpa sebab tentunya.
Banyak hal yang menjadi sebab di antaranya karena paradigma politik yang
digunakan oleh sebagian anak bangsa ini secara umum dan umat Islam secara khusus
adalah paradigma manusia sebagai “srigala bagi sesamanya” sebagaimana diyakini
oleh Nicolo Machiavelli (1469-1527). Machiavelli menegaskan pandangan itu
beberapa abad yang silam bahwa tidak ada hubungan antara politik dan etika,
antara kuasa dan moral.
Sikap ini yang menimbulkan trauma dan sikap apriori umat Islam
terhadap masalah-masalah politik ditambah dengan demokrasi yang belum sepenuhnya
berjalan dengan baik. Akibatnya peran serta mereka dalam politik begitu
asal-asalan.
Kondisi perpolitikan seperti ini tentunya tidak akan pernah
berubah kepada yang baik, apabila orang-orang mukmin yang baik dan cerdas yang
mempunyai komitmen agama dan akhlak tetap menjaga jarak terhadap politik dan
tidak mau memerankan fungsi politiknya sebagai warga negara yang mempunyai hak
tersebut. Politik akan selalu menuansa kotor dan negatif apabila yang berminat
menjadi politisi dan yang aktif memainkan peran politiknya hanya orang-orang
tidak beriman dan tidak berakhlak. Sebaliknya citra politik akan menjadi putih
dan suci apabila dilakukan orang-orang yang putih hatinya dan suci niatnya dalam
berpolitik. Wallahu’alam.
Kesimpulan dari admin.
Berpolitik adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim, berdasarkan
surat Ali Imran ayat 104 dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim. Bahwasanya berpolitik dan aktif dalam menjalankan peran politik bagi
umat Islam adalah bersifat suci, karena dengannya dapat ditegakkan dengan tegas
amar ma’ruf dan nahi munkar, dapat ditegakkan keteraturan dan kedisiplinan
dengan efektif. Kekuasaan yang efektif dan maksimal adalah kekuasaan dengan
dukungan kekuatan politik.
Karena inilah, admin memandang bahwa peran dalam politik muslim
sama sekali tidak boleh bertindak golput (tidak menyalurkan hak pilihnya) dalam
Pemilu, karena sikap ini akan menyebabkan naiknya orang yang mungkin
berpandangan tidak baik dan picik terhadap Islam. ini bisa melemahkan masyarakat
Islam sendiri.
Bahwasanya kesalahan pemahaman umat Islam selama ini tentang
politik yang kotor dan tidak patut dijalankan oleh Islam adalah salah, apalagi
kesalahan pemahaman ini didasarkan oleh pemahaman yang keliru dan apriori dari
seorang kafir bernama Nicolo Machiavelli.