Boleh dan Tidaknya Beramal dengan Mengunakan Hadis Dhaif
Tentang boleh dan tidaknya seorang melakukan amal berdasarkan hadis dhaif maka pada umumnya para ulama membolehkannya untuk fadhilah amal. Hanya saja dalam hal ini ada pula yang berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Mereka yang berbeda pendapat dengan yang pertama berpegang pada hadis Imam Bukhari dan Muslim, "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka." Juga dengan hadis di bawah ini.
“Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim).
Dan yang menentang dengan keras pada masa kita sekarang ini juga berpegang kepada pendapat Muhammad Nashiruddin al-Albany, yang diakui sebagai ahli hadis masa sekarang oleh sekelompok tertentu. Dimana dia telah mengatakan, “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar pada bagian Bab Beramal dengan Dasar Hadis Dhaif, telah mengatakan, sebagai berikut:
"Para ulama dari golongan Muhadditsin (ahli hadis), fukaha (ahli hukum), dan lain-lain mengatakan:
'Hadis dhaif dijadikan alasan untuk meningkatkan prestasi beramal baik, amal yang disunahkan atau peringatan-peringatan mengerjakan amalan yang berdasarkan hadis dhaif, asal saja kedhaifannya tidak sampai ke derajat maudhu'.
Masih kata Imam Nawawi. Lain halnya dengan masalah hukum halal dan haram, jual beli, nikah dan talak serta lainnya yang serupa, haruslah berdasarkan hadis sahih atau hasan. Kecuali dalam hal-hal yang menyangkut ikhtiyat (keharusan berhati-hati), umpamanya ada hadis dhaif yang menerangkan makruh (kurang baik) tentang sesuatu yang menyangkut jual beli dan pernikahan maka sebaiknya, disunahkan (mustahab) baginya tidak melakukannya tetapi tidak wajib menjauhinya."
Jadi sudah jelas bagi kita, hukum beramal dengan hadits-hadits dhoif atau hadis-hadis lemah tersebut dibolehkan dalam agama. Yang tidak boleh adalah menggunakan hadis dhaif itu menjadi hujjah atau dalil dalam menguatkan pendapat atau menetapkan hukum (halal dan haram) dan juga tidak boleh dalam bidang aqidah (keyakinan).
Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik dan Imam Ahmad telah membolehkan beramal secara mutlak menggunakan hadis dhaif selama tidak ditemukan hadislainnya (sahih atau hasan) dalam bidang yang sama. Dan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali juga mengutip hadis-hadis yang derajatnya lemah ini dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin.
Sementara Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’ mengatakan, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lain halnya dengan hadis-hadis mudhu' (palsu/dibuat-buat) tidak boleh sama sekali dipakai dalam hal apa pun karena hadis tersebut berasal dari pendusta orang yang dikenal dari kedustaannya.
Buka artikel sebelumnya berjudul Fungsi Hadis.
Kesimpulan
Dari urain di atas kita boleh saja menggunakan hadis dalam Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal) dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, sebagai berikut:
- Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
- Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
- Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
- Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Atau anda mempertimbangkan pendapat yang satunya? Tentu saja itu boleh saja selama itu ada sumbernya dari ulama-ulama yang terkenal karena keluasan ilmu dan keshalihannya dan yang paling penting kita harus bisa tetap menjaga persatuan dan ukhuwah dalam naungan agama Allah ini.
Wallahua’lam bisshowab.