Pengertian Faahisyah Menurut Ahli. Faahisyah secara harfiah berarti jelek dan keji (jamaknya fahsyaa’). Jurjani
al-Hanafii (fukaha dari mazhab Hanafi) mengemukakan bahwa faahisyah adalah suatu
perbuatan yang jika dilakukan maka pelakunya berhak dihukum, baik hukuman di
dunia maupun azab di akhirat.
Ada juga yang mengartikannya sebagai sesuatu yang
ditolak oleh naluri yang sehat serta dianggap sebagai sesuatu yang tidak
sempurna menurut akal yang sehat. Adapun Ragib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M),
ahli fikih dan ahli tafsir, mengatakan bahwa baik al-fahsy, al-fahsyaa’, maupun
al-faahisyah mengandung arti yang sama, yaitu seuatu yang sangat besar kekotoran
atau kejijikannya, baik berupa perbuatan maupun perkataan. Faahisyah menurutnya
adalah kata kiasan untuk zina.
Kata faahisyah dalam segala bentuknya terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 23
ayat yang tersebar dalam 19 surah. Misalnya, dalam surah Ali ‘Imaran ayat 135
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Muhammad Rasyid Rida menafsirkan faahisyah sebagai seluruh yang dianggap keji
oleh manusia berupa maksiat dan dosa, tidak hanya tertuju pada zina sebagaimana
yang dikatakan sebagian ulama. Faahisyah tersebut bisa lebih buruk dan keji dari
sekedar perbautan atau perkataan buruk. Dikatakan demikian karena perbuatan
faahisyah ini telah keluar dari tabiat manusia dan hukum alam yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT.
Adapun Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H/1209 M), ahli tafsir, mangatakan bahwa
faahisayah adalah zina. Menurutnya, pekerjaan ini lebih keji dari perbuatan
menzalimi diri sendiri sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surat Ali
‘Imran ayat 135 di atas.
Dalam tafsirnya ar-Razi mengemukakan bahwa ada
perbedaan antara faahisyah dan menzalimi diri sendiri. Faahisyah lebih sempurna
kejijikan atau kekotorannya daripada sekedar menzalimi diri sendiri.
Kemudian
faahisyah tersebut termasuk dosa besar yang sulit untuk diampuni, sedangkan
menzalimi diri sendiri termasuk dosa kecil yang dapat dimintakan ampunan dari
Allah SWT karena Nabi SAW sendiri diperintahkan untuk memintakan ampunan
dosa-dosa seperti ini.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa faahisyah secara
khusus diartikan sebagai zina antara lain terdapat dalam firman Allah SWT pada
surah al-Isra’ ayat 32 dan surah an-Nisa’ ayat 15, 19, dan 22.
Dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 15, 19, dan 22 yang memuat kata
faahisyah, baik ar-Razi maupun Muhammad Rasyid Rida sepakat bahwa ketiga ayat
tersebut mengandung arti faahisyah sebagai perbuatan zina yang dilakukan oleh
istri.
Tetapi di balik itu keduanya juga sepakat bahwa faahisyah tersebut tidak
harus berupa perbuatan zina, tetapi juga perbuatan-perbuatan yang tingkat
kekejiannya sama atau melebihi zina. Dalam ketiga ayat ini, ar-Razi melihat
bahwa akibat dari perbuatan faahisyah ini seorang istri dapat diceraikan oleh
suaminya, jika dia tidak sabar dalam menerima perlakuan tersebut.
Faahisyah
dalam arti zina pada ayat-ayat ini disepakati oleh jumhur (sebagian besar)
ulama. Namun, al-Isfahani mengatakan bahwa faahisyah dalam ketiga ayat ini
berarti lesbianisme. Hukuman yang ditentukan bagi mereka adalah dikurung di
rumah sampai meninggal atau ditentukan dengan hadd zina. Faahisyah dalam arti
zina menurutnya hanya dalam surah an-Nur ayat 19, karena ayat inilah yang secara
tegas menentukan hukuman dera terhadap perbuatan tersebut.
Sekalipun demikian, pendapat ketiganya ini dapat disatukan jika faahisyah
tersebut diartikan secara umum sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid
Rida, yaitu faahisyah tidak hanya menyangkut zina tetapi juga termasuk
homoseksualitas, lesbianisme, dan perbuatan-perbuatan keji lainnya.
Faahisyah disebut sebagai suatu perbuatan atau pekerjaan yang sangat keji,
sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Rasyid Rida dan ar-Razi kerena
perbuatan-perbuatan tersebut sangat berbahaya dan sulit untuk di atasi.
Bahayanya tidak hanya pada diri pelaku sendiri, tetapi juga menular kepada
lingkungan sekitarnya. Di samping itu, perbuatan ini juga merusak moral pelaku
sendiri.
Sumber Tulisan
Ensiklopedi Islam 1
Penerbit : PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta
Cetakan Kesembilan, 2001
Ensiklopedi Islam 1
Penerbit : PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta
Cetakan Kesembilan, 2001