Periode 1 Kekhalifahan Abbasiyah (132 H/750 M – 232 H/847 M). Walupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750-754). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur.
Abu Ja'far al-Mansur dengan keras melawan
lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syiah yang merasa mulai
dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar
sezamannya yang mungkin menjadi pesaing baginya satu persatu disingkirkannya.
Abdullah bin Ali dan Salih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang telah
ditunjuk sebagai Gubernur oleh Khalifah sebelumnya di Suriah dan Mesir, karena
tidak bersedia membaiatnya, akhirnya terbunuh ditangan Abu Muslim al-Khurasani.
Abu Muslim sendiri, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, akhirnya
dihukum mati oleh Khalifah pada tahun 755.
Periode 1 Kekhalifahan Abbasiyah (132 H/750 M-232 H/847 M). Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
Abu Ja’far kemudian memindahkan ibu kota dari al-Hasyimiyah, dekat Kuffah, ke
kota yang baru dibangunnya yaitu Baghdad, pada tahun 767. Di sana ia menertibkan
pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga ekskutif dan
yudikatif.
Dalam lembaga eksekutif ia mengangkat wazir (menteri) sebagai
koordinator departemen; dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris
negara, kepolisian negara di samping melanjutkan angkatan bersenjata. Dia
menunjuk Muhammad bin Abu Abdur Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman
negara.
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa bani Umayyah dilanjutkan dengan
tambahan tugas, yakni selain untuk mengantar surat, juga untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berlangsung dengan lancar. Para direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan
kegiatan gubernur setempat kepada khalifah.
Jabatan wazir yang menghubungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan
menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan kelurga
Baramikah atau Barmaki, suatu keluarga terpandang yang berasal dari Balkh,
Persia (Iran).
Wazir pertama adalah Khalid bin Barmak, yang kemudian digantikan
anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat salah seorang
anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Adapun anaknnya yang lain, Fadl
bin Yahya, menjadi gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan.
Pada masa
tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak di tangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non-Arab ini ke dalam pemerintahan
merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang
berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
antara usaha-usahanya itu merebut benteng-bentengnya di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Sicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya
melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus dan berdamai dengan
kaisar Constantine V. Selama genjatan senjata (758-765), Bizantium membayar
upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar
di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, turki dibagian lain Oksus serta India.
Pada masanya konsep khilafah berubah. Dia berkata: Innamaa ana Sultan Allah
fi ardihii (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di buminya). Dengan
demikian, jabatan khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah SWT dan bukan dari manusia dan bukan juga
sekedar pelanjut Nabi SAW sebagaimana khulafah ar-Rasydiin (sebutan untuk
keempat khalifah setelah Nabi SAW wafat, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali). Di
samping itu, berbeda dari Daulah Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai
“gelar takhta”. Al-Mansur misalnya memakai gelar takhta “Abu Ja’far”. “Gelar
tahkta” itu lebih popoler daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu
Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya, mulai dari masa khalifah al-Mahdi
(775-785) hingga khalifah al-Wasiq (842-847). Puncak popularitas daulat ini
berada pada zaman khalifah “Harun ar- Rasyid (786-809) dan putranya al-Ma’mun
(813-833).
Daulat ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara Dinasti
Abbasiyah dan Dinasti Umayyah yang lebih mementingkan perluasan daerah.
Akibat
dari kebijaksanaan ini, propinsi-propinsi tertentu di daerah penggiran mulai
terlepas dari gengaman mereka. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil
menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayyah di Andalusia (Spanyol) dan
Idrisiyah (Bani Idris) di Maroko; dan yang kedua orang yang ditunjuk mmenjadi
gubernur oleh khalifah menjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani
Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat
hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan masa sebelumnya. Pertambangan dan
sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke
timur dan barat dipergiat. Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang
sarananya lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman khalifah Harun
ar-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi.
Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan
menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan
khalifah terpengaruh dan mengambil teologi rasional Muktazilah menjadi teologi
negara.
Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833 – 842), memberi peluang besar kepada
orang-orang Turki masuk dalam pemerintahan. Daulah Abbsiyah mengadakan perubahan
sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perjalanan perang sudah
terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang
profesional. Kekuatan militer dinasti Abbas menjadi sangat kuat. Akibatnya,
tentara itu menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat
dipengaruhi atau menjadi boneka di tangan mereka. Khalifah Al-Wasiq (842-847)
mencoba melepas diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibu
kota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi Turki.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan Daulah Abbasiyah pada periode pertama
dapat mencapai masa keemasan.
- Terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur bangsa non Arab (terutama bangsa Persia) dalam pembinaan peradaban Islam telah mendatangkan kemajuan dalam banyak bidang.
- Kebijaksanaan Daulah Abbasiyah yang memang berorientasi kepada pembangunan peradaban daripada perluasan wilayah kekuasaan. Kebudayaan Persia telah memperkaya khazanah peradaban Islam dengan tradisi keilmuan dan pemerintahan yang sejak lama sudah berkembang.
Banyak penulis Persia memelopori
perkembangan ilmu dalam Islam, misalnya Abu Hanifah dalam bidang hukum Islam,
Sibawaih dalam bidang Gramatika, dan al-Kisa’i dalam bidang qiraat (bacaan
Al-Qur’an).
Banyak orang yang telah memelopori perkembangan ilmu, filsafat, dan
juga sastra. Kebudayaan India juga memperkaya khazanah peradaban islam dengan
masuknya ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, dan matematika asal India ke
Baghdad. Yang paling banyak mempengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan
Islam pada masa Abbasiyah ini adalah unsur kebudayaan Yunani.
Unsur kebudayaan Yunani ini sebenarnya sudah lama berpengaruhi di
wilayah-wilayah yang sudah menjadi bagian wilayah kekuasaan Islam waktu itu.
Kota-kota Jundisapur, Harran, Antakia, dan Iskandariyah adalah pusat-pusat
peradaban dan pemikiran Yunani sebelum Islam menguasai kota-kota itu.
Periode 1 Kekhalifahan Abbasiyah (132 H/750 M-232 H/847 M). Setelah
kota-kota itu berada di wilayah kekuasaan Islam, tradisi keilmuan sebelumnya
tetap terjaga, bahkan setelah kegiatan terjemahan digalakkan, masing-masing
peradaban Yunani itu menyumbangkan keistimewaan terhadap peradaban Islam;
Jundisapur dalam bidang kedokteran, Iskandariah dan Antakia dalam bidang
filsafat, dan Harran dalam bidang matematika dan ilmu falak. Semuanya itu
berkembang dengan sarana yang disediakan kebudayaan Arab, yaitu keagamaan dan
bahasa.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu semakin cepat setelah khalifah mendirikan
lembaga yang sesuai, yaitu perpustakaan-perpustakaan, yang terbesar di antaranya
adalah Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun
ar-Radyid dan mencapai puncaknya pada masa khlaifah al-ma’mun.
Perpustakaan ini
lebih menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab-kitab secara lengkap.
Orang-orang datang keperpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di
samping itu, perpustkaan ini juga berfungsi sebagai kantor penerjemahan,
terutama karya-karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan
ilmu alam. Buku-buku yang diterjemahkan tersebut dan mendapatkan temuan-temuan
ilmiah yang baru. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban
Barat atau dunia.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun
gerakan-gerakan seperti sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani
Abbas, Revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan
Syiah dan konflik bangsa serta aliran pemikiran keagamaan itu, semuanya dapat
dipadamkan.
Dalam kondisi seperti itu, para khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat
politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para khalifah sendiri berada di
bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban kebudayaan yang tercapai telah mendorong para penguasa
untuk hidup mewah dan bahkan cenderung berfoya-foya. Setiap khalifah cenderung
hidup lebih mewah daripada pendahulunya. Kehidupan mewah para khalifah itu
ditiru oleh para hartawan dan anak-anak penjabat. Sementara itu, rakyat umumnya
hidup miskin dan susah.
Lemahnya kepemimpinan khalifah dan dalamnya jurang
antara yang kaya dan yang miskin telah memberi peluang kepada para tentara untuk
mengambil kendali pemerintahan. Hal yang terakhir ini membuat semakin pudarnya
kekuasaan Bani Abbas di dalam Daulah Abbasiyah yang didirikan itu dan merupakan
awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun usianya masih dapat bertahan lebih
dari empat ratus tahun lagi.
Sumber Tulisan
Ensiklopedi Islam 1
Penerbit : PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta
Cetakan Kesembilan, 2001
Sumber Tulisan
Ensiklopedi Islam 1
Penerbit : PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta
Cetakan Kesembilan, 2001