-->

Pengertian Tasawuf

Mean of Tasawuf. Tasawuf berarti melemparkan nafsu dalam ubudiyah dan mengaitkan kalbu kepada Rububiyah. Adapun yang mengatakan, tasawuf menyimpan peluang untuk diaktualisasikan dan menolak segala bentuk bahaya hati.
Tasawuf adalah meleparkan nafsu dalam ubudiyah dan mengaitkan kalbu kepada Rububiyah

Seorang sufi mengatakan, “Tasawuf berarti pembersihan kalbu dari pengaruh pergaulan makhluk dan berpisah dengan watak perilaku alam, menahan sifat-sifat manusiawi, menjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati tempat-tempat ruhani dan berkait dewengan ilmu-ilmu hakikat, serta mengikuti syariat Rasulullah saw.” 

Tasawuf :orang yang berserah diri pada Allah, baik di dunia maupan di akhirat tidak ada lagi yg di tuju selain Allah SWT. 

Dasar-Dasar Tasawuf
 
Dasar-dasar Tasawuf adalah memakan-makanan halal dan mengikuti sunah rasulullah saw., baik dalam akhlak, perbuatan dan perintah-perintahnya. Siapapun yang tidak menjaga (ajaran) al-qur’an, mencatat hadis dalam konteks Tasawuf tidak bisa diikuti. Pandangan ini diungkapkan dengan sikap wira’y dan takwa bukan sekedar ajak-ajakan saja. 

Tasawuf awalnya merupakan ilmu di tengah-tengahnya ada amal di akhirnya ada anugerah. Ahli Tasawuf terdiri dari beberapa tingkatan 1) murid thalib; 2) mutawasith sair; 3) muntaha washil. Murid, adalah orang memegang kendalai waktunya. Mutawasith adalah orang yang mengamalkan perilakunya. Muntaha, adalah orang yang memiliki keteguhan keyakinan. 

Keutamaan segala hal menurut ulama Tasawuf adalah memusuhi hawa nafsu. Tingkat atau tahapan murid adalah mereka yang melakukan mujahadah atau perjuangan dan upaya penuh menelan kepahitan-kepahitan serta menjauhi bagian-bagian nafsu dan segala hal yang menjadi pendukung nafsu. 

Tahap mutawasith adalah orang yang menaiki bahtera cobaan dalam mencapai tujuan. Di samping ia selalu menjaga kejujjuran, menggunakan adab dalam setiap tahapan. Ia adalah pencari yang menggunakan adab-adab tahapan, sekaligus seorang yang talwin (mendaki tahap demi tahap), karena transformasinya dari suatu perilaku ketahap perilaku lain. Inilah yang disebut ziadah atau tambahan karunia.

Tahap muntaha adalah as-shahwu (kembali kepada rasa indera setelah lebur dari kegaiban) sekaligus tsabat (mapan dengan hukum-hukum ibadat) dan menjawab apa pun panggilan yang Maha Hak. Tahap ini berarti telah melampaui tahapan-tahapan tersebut tidak ada bedanya apa ia dalam kondisi sedih, senang, terhalang, tercapai hampa atau pun teraihnya keinginan. Kenyangnya seperti laparnya, tidurnya seperti jaganya. Dimensin dirinya dan hak-haknya yang abadi telah fana. Lahirnya, tampak bersama makhluk, namun batinnya bersama al-hak. Semua itu merupakan perilaku Nabi saw. Bagi al-muntaha, jika diibaratkan mata busur panah di atas bukit yang tinggi di bumi, lalu angin kencang menerpanya, sedikit pun tidak bergerak karenanya, walau sehelai rambut pun.

Di antarnya ada yang mengatakan, bahwa mereka menamakan kaum sufi karena selalu menempati shaf pertama di sisi Allah SWT. Karen cita-cita dan perspektifnya yang luhur dalam hatinya, di samping kedudukan di sisi-Nya dengan rahasia-rahasia mereka itu. 

Ikhlas, mukhalashatul Ikhlas dan Khalishah manifestasi dari proses keikhlasan. Dengan demikian ikhlas sendiri adalah perilaku mulamaty dan penjernihan ikhlas adalah perilaku sufi. Sedangkan Khalishah yang dalam Mukhalashah (proses penjernihan) merupakan buah dari penjernihan ikhlas. Yaitu fananya hamba terhadap kerangka dirinya disebabkan penglihatannya terhadap sifat Qayyum-Nya pada ketegakan dirinya. Bahkan sang hamba telah tenggelam dalam kegaiban dari melihat kemandirian tegaknya sendiri. Yaitu tenggelam dari pandangan makhluk dan jernih dari segala tirai. Inilah tingkah laku sufi. 

Al Mulamati adalah orang yang bermukim di negeri keihklasannya, tanpa menjenguk hakekat keikhlasannya. Inilah perbedaan jelas antara al mulamah dan sufi. Walaupun al mulamati berpegang teguh pada tali keihklasan, beralaskan tikar kejujuran namun masih ada sisa pandangan terhadap makhluk. Oleh karena itu, sungguh indah bagi orang yang melakukan penjrnihan hakekeat keihklasan, kejujuran dan Tasawuf dalam amaliahnya, dengan meninggalkan pandangan pada makhluk serta uzlah total dengan pandangan fana, sirna sampai pada ujung tauhid subtansi rahasia. Segala sesuatu menjadi sirna kecuali wajah-Nya.

Bahkan sebagian sufi mengatakan baik di dunia maupun di akhirat, tidak ada lagi yang dituju selain Allah SWT. Sisi Al-Mulamah dalam perilakunya, terkadang berada dalam dua arah. Pertama, upayanya mendekati subtansi keikhlasan dan kejujuran, yang kedua, menutup perilaku dirinya dengan sesuatu selain diri-Nya. Arah ini lebih sempurna, karena siapa pun yang menyendiri dengan kekasih tidak akan suka jika ada yang lain hadir di antara mereka. Bahkan pada kejujuran cinta sejati pasti membenci hadirnya seseorang dalam hati orang yang dicintainya. Inilah sebenarnya, kurang lebih jalan yang ditempuh sang sufi itu. Oleh sebab itu, al mulawati menjalani prosesi sebeum menjadi mutashawif (sufi) dan berjalan di balakang sufi. 

Sebagian lain mengatakan, di antara prinsif al mulawamah dalam zikir terbagi menjadi empat. 1) Zikir dengan lisan, 2) Zikir dengan hati, 3) Zikir dengan rahasia (sirri), 4) Zikir dengan ruh.

Apabila zikir dengan ruh berjalan benar, maka sirr, kalbu dan lisan akan berdiam dari zikir. Itulah yang dinamakan zikir musyahadah. Begitu juga apabila zikir sirr benar, kalbu dan lisan akan diam dari zikir. Itulah zikir haibah. Apabila zikir kalbu telah berjalan benar, lisan akan berhenti berzikir. Inilah zikrul ala’ dan nu’ama’. Apabila hati lupa berzikir, hanya lisan saja yang berzikir, ini disebut sebagai zikir adat.

Masing-masing tahapan zikir ini bagi mereka ada cobaan tersendiri :
- Cobaan zikir ruh adalah munculnya sirr
- Cobaan zikir sirr, munculnya kalbu dalam sirr
- Cobaan zikir kalbu, munculnya nafsu dalam kalbu
- Cobaan zikir nafsu, munculnya akibat-akibat zikir itu sendiri, sehingga seorang hamba – karena zikirnya – menuntut pahala, atau menduga bahwa dengan zikir itu ia akan sampai pada suatu maqam atau tahapan tertentu.

Nilai terendah dalam beramal menurut mereka, manakala seseorang melakukannya agar tampak di hadapan manusia, dengan tendensi kelak manusia datang kepadanya, karena amal itu. 

Dalam prinsif di atas, antara lain :
- Ruh adalah zikir zat
- Zikir sirr adalah zikir sifat
- Zikir kalbu adalah zikir efek sifat
- Zikir nafsu sebagai upaya menampakkan akibat-akibat.

Sedangkan arti ungkapan munculnya sirr pada ruh mengisyaratkan perwujudan fana ketika dalam tahap zikir zat. Sedangkan zikir haibah (khawatir terlepas dari karunia Allah) mengisyaratkan zikir sifat, yang menjadi manifestasi haibah, dengan demikian menarik eksistensi atau keabadian. Tahap ini menghapus perilaku fana. Demikian pula zikir sirr sebagai wujud haibah yang merupakan zikir sifat-sifat, muncul lewat efek taqarrub. Zikir taqarrub yang merupakan zikir ala’ (orang yang terpilih) dan nu’ama’ melahirkan kondisi yang senantiasa mengigatkan nikmat dan sikap hina dina di hadapan sang pemberi nikmat. Sementara, kondisi dominan yang hanya mengarah pada subyek pemberiaan itu sendiri, tanpa memandang sang pemberi, adalah bagian yang menjauhi tahapan. 

Munculnya nafsu yang berorientasi pada tujuan-tujuan dengan menghitung bentuk amalnya, merupakan cacat nyata dalam konteks ini. Inilah yang merupakan bagian-bagian kelompok, masing-masing ada yang lebih tinggi dibanding yang lainnya. Wallahu a’lam
 
M. Zikyan Fitranta Perdana

Disqus Comments