Seringkali pada saat kita berdiri melakukan shalat, akal kita menerawang kemana-mana. Sesuatu hal yang pada saat di luar sholat tidak pernah terlintas, tiba-tiba menyusup ke dalam pikiran pada waktu shalat, dan lebih parahnya lagi kita terbetot untuk memikirkan itu tanpa mampu mengembalikan khusyuk kita hingga akhir shalat. Padahal yang ada di hadapan kita adalah Allah. Pikiran kita sibuk bergelut dengan selain Allah. Kita penuh harap mendapatkan manfaat dari sesama manusia dan takut bahaya dari mereka. Sama sekali tidak ada kekhawatiran atas keadaan kita waktu menghadap kepada-Nya. Padahal dengan shalat itulah kita memohon sesuatu yang bermanfaat untuk kita dan memohon agar ditolak sesuatu yang membahayakan kita.
Jika demikian halnya, shalat kita masih terbatas hanya berdiri dan duduk, ruku’ dan sujud padahal yang kita temui adalah Sang Maha Pencipta, Allah Ta’ala. Hal ini terjadi karena apa yang kita ucapkan dalam shalat tidak terpancar dari lubuk hati dan tidak diketahui oleh akal. Akhirnya shalat kita itu tidak memberi kesan apa-apa kepada jiwa kita selain sekedar menggerakkan anggota badan dan komat-kamit. Padahal gerakan-gerakan itu merupakan jasadnya shalat dan kekhusu’an adalah ruhnya shalat. Mungkinkah shalat kita akan sampai kepada Allah bila shalat kita masih bagaikan jasad tanpa ruh? Tentu saja tidak, walaupun kita termasuk seorang yang telah menjalankan kewajiban agama yang menjadi sendi pokok agama kita.
Timbul pertanyaan sekarang dari diri kita, kalau begitu bagaimanakah cara kita melaksanakan shalat supaya khusyuk itu agar diterima shalat-shalat kita dan mendapat ganjaran yang berlipat dari Allah SWT?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita kutip pendapat ‘Ali Atthontowi dalam buku sakunya “Shalatu Rak’ataini” berikut ini.
Bila suara azan telah berkumandang maka bersegeralah menghadap kepada Allah. Sebelumnya sucikanlah badan, pakaian dan tempat shalat anda dari kotoran dan najis. Berwudlu lah! Bersihkanlah pula kotoran-kotoran mental spritual, misalnya syirik, riya’, tamak, hasad dan semua yang membahayakan. Ingatlah Allah Maha Mengetahui segala yang rahasia dan yang samar.
Hadapkan diri ke arah kiblat. Bayangkan seakan-akan Ka’bah dihadapan anda tetapi jangan membayangkan seperti orang-orang musyrik menghadap archa atau patung atau janganlah ada anggapan kalau Ka’bah itu dapat mendatangkan manfaat dan memberikan mudharat. Sadarlah menghadapnya anda ke kiblat itu bertujuan multi kompleks, yaitu untuk menata umat Islam di penjuru dunia dalam lingkaran daerah yang dekat dan yang jauh. Untuk dapat berhubungan dan membentuk bulatan di seputar tujuan ini tidak terhalang oleh gunung, bukit, gurun, dan samudera.
Hadirkan, bangkitkan dan wujudkan potensi khusyu’ pada jiwa dengan mengingat bahwa hidup ini pasti akan terputus, akan berakhir. Dan pada akhirnya kelak semua amal perbuatan kita dihisab, ringankah hisab kita atau malah sebaliknya. Bayangkanlah akan kenikmatan surga dan pedihnya azab neraka yang kekal.
Berfikir dan tenggelamkanlah diri dalam kemahaagungan Allah SWT dan bayangkanlah akan kecilnya dunia ini. Allah lebih besar dari semua itu. Setiap yang terbersit di dalam akal manusia dari seluruh jagat ini semua bermula dari tidak ada. Dengan perantaraan kalimat-Nya lah: “Kun fayakunu” seluruh jagad ini ada. Ini dilakukan sambil mengangkat kedua tangan di hadapan kedua telinga.
Ketika kita mengucapkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) yakinlah dengan sepenuh hati untuk menjauhkan diri dari kesibukan-kesibukan dunia yang telah lekat pada jiwa. Dengan, demikian Insya Allah kita menjadi orang berdiri di hadapan Allah Swt.
Ketika mengucapkan doa iftitah renungilah makananya. Ketika mengatakan “Subhanakallahumma” atau “Subhanallah” (Maha Suci Engkau, ya Allah). Pusatkanlah pikiran anda, akui dengan segenap jiwa dan raga bahwa Allah itu Maha Suci dari setiap yang terlintas dalam pikiran dan khayal kita. Maha suci Allah dari sifat-sifat fisik kemanusian (apapun yang terlintas dalam pikiran kita, Allah Swt berbeda dengan lintasan khayali itu). Lalu kita bertawajjuh kepada Allah dengan ucapan: “wajjahtu wajhiya” dan seterusnya, yang artinya “aku menghadapkan mukaku kepada Allah Swt, zat yang menciptakan semua langit dan bumi serta semua makhluk-Nya”.
Kemudian sebelum membaca surat Al-Fatihah, ucapkanlah: A’uzu billahi minasysyaitanirrajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk), untuk memohon kepada Allah agar mendapat penjagaan-Nya dari musuh manusia bebuyutan Iblis/syetan terkutuk. Mohonlah kepada Allah agar kita dijauhkan dari keburukan dan kecintaan terhadap maksiyat.
Lalu setelah itu barulah kita mengucapkan asma’ Allah, ayat pertama dari surat Al Fatihah, Bismillahirrahmanirrohim (dengan asma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih). Sadarilah betul-betul bahwa Asma Allah Maha Tinggi dan Maha Mulia. Sebutan itu menghapus segala perbedaan warna, jenis dan bahasa. Ini adalah ucapan-ucapan yang meredakan suara-suara syahwat, rasa keakuan, ketinggian status dan kekayaan. Ucapan inilah yang dapat mengembalikan manusia menjadi hamba yang mendengar lagi tunduk serta melakukan keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan.
Ketika membaca Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya yang tidak terhitung, baik nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat aman, nikmat pendengaran dan penglihatan, nikmat keluarga, dan anak. Banyak manusia tidak bersyukur dan tidak mengerti harga sebuah kenikmatan, kecuali kenikmatan-kenikmatan tersebut dicabut darinya, barulah dia tahu sangat berharganya arti kenikmatan dan mengharapkan kenikmatan itu kembali kepadanya. Misalnya ketika tubuh dilanda kepayahan oleh penyakit, maka disitulah baru diingat nikmat sehat memiliki makna yang sangat berharga. Renungkanlah!
Alhamdulillahirobbil’alamin (Segala puji kepunyaan Allah, Robb seru sekalian alam). Di sini makna Arrab bukan hanya bermakna bahwa Allah Ta’ala itu sebagai Penguasa, Raja atau yang disembah, tetapi di dalamnya terkandung makna inayah (perhatian) dan inma’ Arrobbu di sini berkonotasi pada makna yang memelihara. Adapun ‘Alamin adalah jamak dari lafal alam. Berarti seluruh alam, baik alam bumi, alam bintang, alam langit, alam jin, alam hewan, alam malaikat, dll. Allah Ta’ala yang memelihara, mewujudkan dan mengembangkan alam-alam itu semua. Oleh karena itu hendaklah kita menggambarkan semua makna-makna itu ketika membaca empat lafal ini: alhamdu-lillahi-rabbil-‘alamin.
Arrahmanirrahim, Allah telah memberikan atribut diri-Nya dengan rahmat kasih sayang. Maka sudah selayaknya kita menyadari rahmat-Nya yang mencakup segala sesuatu. Tidak peduli apapun agamanya, orang kafirkah atau islam, orang taat atau pelaku maksiat, Allah Ta’ala tetap saja mengasihi, memberi rezeki dan berbuat baik kepadanya.
Sesungguhnya Allah Swt menurunkan satu rahmat saja ke dunia ini, dan dengan satu rahmat itulah manusia saling berkasih sayang. Ibu membelai anaknya, saudara menyayangi saudaranya, dan seorang suami menyayangi isterinya. Masih ada sembilan puluh sembilan kasih sayang lagi tetapi kasih sayang Allah itu akan Allah berikan kelak di hari kiamat. Rahmat Allah inilah seutama-utama nikmat.
Setelah kita sadar akan semua nikmat Allah, lalu kita melanjutkan mengucapkan Maliki yaumiddin, ketika mengucapkan kalimat ini kita harus benar-benar menyadari akan keagungan Allah. Ini dimaksudkan agar kita tidak perlu berputus asa dari rahmat-Nya.
Yaumiddin adalah hari kiamat, yaitu hari di waktu semua manusia berdiri menjadi satu, Allah akan mengumpulkan kita semua tanpa kecuali, baik umat yang terdahulu maupun yang kemudian. Pada saat ini gugurlah semua status, derajat dan pangkat. Yang tetap bernilai pada setiap diri adalah keimanan dan amal shaleh. Di sanalah Sang Penyeru (Allah) bertanya, “Li manii mulkul yauma?” (Milik siapa kerajaan pada hari ini?) Semua hamba-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir pada waktu itu tentu akan menjawab, “Allah.” Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu (Hanya kepada-Mu ya Allah, kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
Ibadah ialah setiap aktifitas yang di dalamnya terkandung ikrar terhadap sifat rububiyah untuk diibadahi. Maka shalat merupakan ibadah. Sujud juga ibadah, begitu pula dengan berdoa dan bertawaf.
Meminta tolong kepada dokter dalam berobat tidak dilarang. Yang dilarang ialah bila melakukan isti’anah kepada selainnya, dengan mencari hukum di luar hukum kausalitas. Misalnya, seorang pasien mencari kesembuhan tanpa perawatan, mendapatkan kembali barang yang hilang tanpa mencari (tetapi meminta petunjuk peramal atau dukun).
Ketika kita mengucapkan kalimat tersebut kita juga memuji Allah Swt atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Dia lah yang maha pemurah dari sekalian pemurah, dan Dia pulalah yang merajai hari pembalasan. Kemudian kita mensucikan Allah Swt dari sekutu, baik persekutuan lahir maupun batin. Sudah seharusnya kita memfokuskan ibadah hanya kepada-Nya karena Allah mengetahui kita secara utuh. Karena itu semua kebaikan yang kita minta sesunggunya telah terkumpul dalam kalimat Siratul mustaqim (jalan yang lurus).
Ihdinassiratul mustaqim (tetapkanlah kami Ya Allah pada jalan yang lurus). Artinya tunjukkanlah kami pada jalan yang menyampaikan kepada setiap kebaikan di dunia dan di akhirat. Siratallazina an’amta ‘alahihim ghairil maghdubi ‘alaihim wa laddallin (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai serta orang-orang tersesat). Almaghdub adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya. Mereka adalah orang-orang Yahudi. Adhdhallin adalah orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran serta tidak mengikutinya. Mereka adalah orang-orang Nasrani. Adapun orang-orang yang mendapat nikmat Allah Swt adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya, yakni para nabi, siddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Amin artinya, Ya Allah, kabulkanlah dan terimalah doa kami. Setelah itu kita membaca surat Alqur’an dengan mentadabburkan maknanya, memikirkan kandungannya. Dengan demikian raga dan jiwa kita benar-benar tunduk dan pasrah dalam gerakan-gerakan sholat. Sebaiknya surat yang kita baca setelah Alfatihah adalah surat-surat yang kita paham arti dan maknanya, seperti surat-surat pendek dalam Al-Qur’an.
Terima kasih anda telah membaca artikel Cara Mencapai Khusyuk di Dalam Shalat. Semoga bermanfaat